22.4 C
Indonesia
Jumat, Desember 27, 2024

Penerapan AI pada Teknologi Forensik

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -

Aspirasipos, Jakarta – Di tahun 2023, 5,16 miliar dari sekitar 8 miliar penduduk dunia merupakan pengguna internet. Di Indonesia sendiri, 77% penduduknya telah mengakses internet. Kemajuan teknologi tak dipungkiri membuat kehidupan manusia lebih mudah tidak terbatas ruang dan waktu. Namun, tanpa kita sadari modus kejahatan pun ternyata turut meningkat seiring berkembangnya jaman dan kemajuan teknologi.

Mengutip laporan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), pada tahun 2022 terjadi serangan siber yang sifatnya traffic anomali sebanyak 976.429.996 kali.

“Teknologi forensik adalah teknologi yang melibatkan berbagai disiplin ilmu yang digunakan dalam proses penegakan keadilan, untuk menjawab masalah yang timbul pada proses pengungkapan kasus-kasus kejahatan. Bahkan saat ini, pemanfaatan AI (artificial intelligence) dalam digital forensik sudah mulai banyak dilakukan,” jelas Kepala Pusat Riset Kecerdasan Artifisial  dan Keamanan Siber (PRKAKS) BRIN, Anto Satriyo Nugroho saat Webinar Penerapan AI pada Teknologi Forensik, Senin (14/8).

Pada kesempatan yang sama, Pengajar di Program Studi Teknik Fisika – Institut Teknologi Bandung (ITB), Miranti Indar Mandasari menjelaskan tentang rekognisi pengucap untuk aplikasi forensik yang menurutnya merupakan bagian dari biometric. Sistem biometrik sendiri yaitu sistem yang bisa mengenali atau melakukan rekognisi terhadap karakteristik data biometric atau signal yang bisa digenerate oleh tubuh manusia, seperti finger print, wajah, DNA, darah, termasuk suara ucap manusia.

Sistem rekognisi pengucap (speaker recognition) atau voiceprint recognition adalah sebuah proses dalam merekognisi (mengenali) identitas seorang pengucap dari segmen suara ucap. Sistem ini memiliki berbagai informasi pada suara ucap manusia seperti akses (accent recognition), bahasa yang digunakan (language recognition), kata-kata yang diucapkan (speech recognition), emosi sedih atau senang (emotion recognition), suara pria atau wanita, anak-anak atau orang dewasa (gender recognition) dan pada akhirnya dapat mengungkap suara siapa itu atau siapa dia.

“Sistem yang ada saat ini membutuhkan waktu relatif lama mulai dari sampel suara sampai menjadi barang bukti di pengadilan, terutama pada tahap pairing dan tagging. Sedangkan, menggunakan AI seperti deep learning melalui pemodelan menjadi jauh lebih cepat,” ungkap Miranti. 

Sementara itu, Periset PRKAKS BRIN, Agung Septiadi, dalam kesempatan yang sama menyampaikan topik ‘Menjaga Ruang Siber: Bagaimana Kecerdasan Buatan Merevolusi Deteksi Intrusi dalam Investigasi Keamanan Siber?’

Menurut Agung, untuk menjaga ruang siber diperlukan pemantauan trafik pada jaringan. Agung menjelaskan terdapat dua macam alat yang digunakan untuk memonitor trafik yaitu Intrusion Detection System (IDSs) dan Instrusion Prevention System (IPS). IDSs digunakan untuk memonitor dan menganalisa secara cepat trafik yang masuk dan keluar pada jaringan. IDSs berfungsi untuk mendeteksi trafik dan dipasang di luar jalur utama sehingga bisa memantau secara akurat trafik normal dan trafik yang bersifat anomali. Sayangnya, IDSs yang dipasang di luar jalur utama tidak dapat memblokir traffic yang berbahaya atau serangan siber. 

Sedangkan IPS memiliki fungsi yang sama dengan IDSs. Hanya saja, pemasangan IPS pada jalur utama memungkinkan IPS untuk melakukan tindakan pemblokiran terhadap trafik berbahaya atau serangan siber. Kelemahannya, jika IPS mengalami kegagalan fungsi dalam pemblokiran maka jaringan akan mati.

“Yang tidak kalah penting dari IDSs dan IPS adalah bagaimana cara mendeteksi mana trafik yang berbahaya dan mana trafik yang normal,” imbuh Agung. 

Lebih lanjut Agung menjelaskan bahwa ada dua tipe IDS yaitu signature based IDS dan anomaly based IDS. Signature base IDS yaitu IDS yang mampu medeteksi serangan-serangan yang telah diidentifikasi sebelumnya. Kelemahan sistem ini adalah lemah untuk serangan jenis baru, sehingga perlu sering update. Sedangkan Anomaly based IDS yaitu IDS yang mampu mendeteksi trafik yang sifatnya anomali dan sangat efektif untuk mendeteksi serangan jenis baru. Kelemahan sistem ini adalah tingginya peringatan palsu (false alarm rate). Untuk mengurangi peringatan palsu, saat ini anomaly based IDS menggunakan machine learning.

Pada acara yang sama, Periset PRKAKS BRIN, Risnandar menyampaikan materi terkait ‘Trace and Track Digital Forensics: Practical Forensic Real Imaging’ . Pengungkapanan kasus dalam digital forensik dapat dilakukan dengan dua cara yaitu menelusuri jalur ke depan dari titik awal menuju objek saat ini berada (trace) dan menelusuri mengikuti jalur mundur dari titik saat ini ke titik awalnya (track). “Bagaimana proses digital forensik dilakukan meliputi proses akusisi, validasi dan diskriminasi, ekstraksi, rekonstruksi dan pelaporan,” jelas Risnandar. (*)

- Advertisement -
SHOWBIZZ
- Advertisement -
Berita terkait lainnya
- Advertisement -