Ada Statement ‘Kontroversial’ Kasatreskrim Polres Pgk
Pangkalpinang Aspirasipos.com — Dalam dua hari ini publik di Pangkalpinang disajikan dua versi berita yang viral di sosial media perihal adanya dugaan tindak asusila -yang menurut isi berita tadi- ditengarai dilakukan oleh oknum Polisi, Bripka ES (Polres Pangkalpinang), Jumat 13\08\2021.
Walau isi berita minus keterangan dari sumber utama berita (diduga pelaku dan diduga korban) justru tidak dimasukan dalam narasi berita, berita tersebut kadung menyedot atensi publik. Babak selanjutnya malah timbul berita lain. Kali ini berupa bantahan dari Kasatreskrim Polres Pangkalpinang, AKP Adi Putra terkait informasi berita dugaan tindakan asusila oleh oknum tadi.
Adi putra diketahui mengeluarkan pernyataan lewat beberapa media yang isinya membantah keseluruhan narasi, info kejadian, terutama memprotes kata “perkosa” yang menurutnya secara eksplisit telah menuding Korps Kepolisian.
Dengan situasi dua judul berita saling silang pendapat, redaksi Aspirasipos berinisiatif untuk meminta pendapat ke Wakil Ketua Dewan Pers, Hendri CH Bangun, mengenai apa saran bagi media yang menerima statement dari narasumber dan tidak mencantumkan narsum lain sebagai bentuk coverboth, tapi tetap dishare ke publik.
Hendri CH Bangun berpendapat bahwa menyoal adanya penulisan berita dengan isi konten level high risk seharusnya berita ditulis secara berimbang. “Apalagi kalau berpotensi merugikan nama baik seseorang,” tulis Hendri lewat pesan whatsapp di Kamis malam.
Bidikan UU ITE, Hendri Ingatkan MoU Kapolri dan Dewan Pers
Konfirmasi kedua yang dilayangkan wartawan ke Hendri adalah, pertanyaan mengenai rencana penggunaan UU ITE pada produk jurnalistik dari berita pertama yang diniliai bermasalah.
Pertanyaan diajukan wartawan, mengingat ada penggalan paragraf pada berita bantahan Pejabat Polres\ Kasatreskrim. Ia mengaku sedang meneliti isi kandungan berita dengan bidikan pasal-pasal di UU ITE.
”Kita akan selidiki UU ITE nya dalam pemberitaan ini tentang adanya kejadian pemerkosaan terhadap tahanan wanita yang dilakukan oleh oknum anggota polres pangkalpinang,” tegas Kasatreskrim dikutip media. Tautan (Link)
Mengetahui duduk persoalan seperti uraian konfirmasi, Hendri CH Bangun menjawab soal adanya kemungkinan gejala kurang paham, yang tidak tepat dipakai ketika menyikapi perbedaan definisi. Karena, sengketa pers berada dalam ranah pemberitaan. Maka hal tersebut, otomatis harus diselesaikan dengan mekanisme Pers.
“Setiap berita yang ditulis media massa penanganan harus dengan UU Pers, dan ini sesuai MoU (Memory Of Understanding) Kapolri – Dewan Pers (DP/MoU/11/2017. NOMOR: BI.!.5./11/2017). Semua sengketa terkait produk jurnalistik tentu harus melalui Dewan Pers untuk dinilai, tidak bisa langsung diproses di kepolisian,” saran dia.
Media terus memfokuskan pertanyaan pada poin: banyak contoh kasus sengketa pemberitaan dalam dunia pers yang berlanjut ke ranah laporan polisi, kenapa pihak kepolisian diperkirakan cenderung memakai UU ITE? Bukankah jika terjadi sengketa pers, maka yang paling berhak menengahi dan memeriksanya menurut UU Pers adalah Dewan Pers?
Hendri menjawab dengan lugas, untuk penilaian tentang karya jurnalistik (atau bukan) adalah domain Dewan Pers.
“Sesuai UU Pers, media adalah perusahaan pers yang berbadan hukum, dan wartawan adalah orang yang melakukan segala bentuk tugas jurnalistik dan bekerja di perusahaan pers,” terang dia.
Lainnya lagi adalah, berdasar Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri Nomor 2/DP/MoU/II/2017 di pasal 4 ayat 1 bahkan menjelaskan : para pihak berkoordinasi terkait perlindungan kemerdekaan pers dalam pelaksanaan tugas di bidang pers sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Diperkuat dengan Ketentuan pasal 5 ayat (2), bahwa apabila menerima laporan masyarakat terkait adanya dengan tindak pidana di bidang pers, maka terlebih dahulu dilakukan penyelidikan dan hasilnya dikoordinasikan dengan Dewan Pers.
Ataupun jika menelisik tugas wartawan dalam Pasal 8 UU Pers yang menyatakan dalam menjalankan profesinya, jurnalis mendapat perlindungan hukum. Dan lebih tepat lagi apabila merujuk pada Pasal 18 UU Pers, Pihak yang menghalang-halangi tugas jurnalistik diancam dengan hukuman dua tahun penjara atau denda Rp 500 juta.(red6)