19.9 C
Indonesia
Minggu, Februari 23, 2025

Kode Etik Dibaca Harusnya Pakai Akal, Bukan Pakai Nafsu

- Advertisement -

Pangkalpinang — Aspirasipos.com, Ada segenggam kelucuan saat membaca beberapa berita yang tayang belakangan ini, salah satunya adalah milik rekan seprofesi juga. Disinyalir maksudnya baik, tapi akalnya diliputi emosi yang membuncah. 

Meluap-luap bagai air panas dalam ketel. Tidak jeli mengartikan kalimat dan serampangan dalam menyusun kata. Dan hasil akhirnya pembaca dirugikan, karena disuguhi oleh narasi adu domba bin pecah belah. Mirip penjajah, devide et impera. 

Bayangkan, hal mendasar dari arti kalimat “menduga” dengan seenaknya disadur kedalam berita dengan padanan kata “menuding” 

Dimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa arti dari kata “menduga” adalah menyangka; memperkirakan (akan terjadi sesuatu). Sementara padanan yang dipilih oleh teman kita yang sedang meluap emosinya justru “menuding”, yang arti dalam KBBI adalah menuduh. Atau dengan kata lain sudah pasti dan sudah dilakukan.  

Kemudian, ketika kata itu dimasukan dalam suatu berita yang ada. Jelas akan terjadi disinformasi publik. Rentan dengan naiknya tensi darah pembaca, berpotensi kobarkan api permusuhan, serta salah kaprah pada akhirnya. 

Padahal, dalam kode etik jurnalistik pasal 1 butir (d) disitu disebutkan bahwa wartawan Indonesia tidak beritikad buruk. Yang dapat mengandung pengertian tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Informasi lainnya adalah, dalam Pasal 3 butir  ( c ) disebutkan bahwa Wartawan Indonesia tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi. Yang mengandung pemahaman bahwa Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Seperti narasi awal tadi, kata “menduga” kok diplintir diartikan dengan kata “menuding” Otomatis pembaca akan tersesat dengan narasi tersebut. 

Contohnya, Si X diduga memprovokasi massa dalam kerusuhan yang baru saja terjadi

Dibandingkan dengan kalimat : Si X dituding provokasi massa dalam kerusuhan yang baru saja terjadi.

Ia juga menduga, Kasipenkum memanfaatkan media untuk melobi atau me-86 kan tambang-tambang ilegal.

Kasipenkum Kejati Babel berang atas pemberitaan di beberapa media online yang menuding dirinya memanfaatkan media untuk melobi tambang ilegal.

Dipastikan pembaca lebih menitikberatkan kejahatan pelaku pada narasi kedua ketimbang membaca narasi pertama yang masih memuat azas praduga tak bersalah. 

Hal ini tentu berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.

Contoh soal; Ada kebakaran yang terjadi di pasar pagi, diduga korsleting listrik penyebabnya. 

Ada kebakaran yang terjadi di pasar pagi, korsleting listrik dituding sebagai penyebabnya. 

Jadi pembaca, dalam poin diatas tadi. Penulis berita yang dimaksud, disayangkan sudah mencampuradukan fakta dan opini, berpotensi naikkan tensi publik dan sudah jelas tidak jeli dalam memilih padanan kata. 

Sebagai koreksi, artikel ini tentu sah saja dipublikasikan sesuai dengan hak berpendapat setiap warga negara. Dan penulis juga menyadari bahwa diri penulis masih banyak kekurangan. Namun sebagai barrier dan upaya mencegah timbulnya mispersepsi yang akut, makanya artikel ini ditayangkan. (red6).

- Advertisement -
SHOWBIZZ
- Advertisement -
Berita terkait lainnya
- Advertisement -