Oleh : DR. Suriyanto PD, SH, MH, M.Kn
ASPIRASI POS.COM – JAKARTA, Meskipun penetapan UU Pers merupakan langkah maju dalam upaya mewujudkan kebebasan pers, namun politik legislasi yang dilakukan pemerintah di masa-masa selanjutnya tidak sejalan dengan upaya tersebut.
Setelah penetapan UU Pers, Pemerintah malah menerbitkan beberapa undang-undang baru yang mengancam kemerdekaan berpendapat dan berekspresi. Di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial serta Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Akibat undang-undang lain yang diterbitkan setelah UU Pers tersebut, justru timbul ketidakjelasan dalam penyelesaian kasus-kasus yang berkaitan dengan delik pers. Penegak hukum justru melihat kehadiran undang-undang tersebut sebagai peluang untuk menafsirkan secara berbeda mekanisme penyelesaian delik pers yang semakin jauh dari upaya perlindungan hukum untuk para jurnalis.
Keterlibatan Dewan Pers dalam penyelesaian pidana terkait pers sebagaimana diintrodusir oleh Mahkamah Agung melalui, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2008 (SEMA 13/2008), sesungguhnya dilakukan dengan semangat untuk memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap jurnalis yang dihadapkan pada proses pidana.
Namun dalam implementasinya, Dewan Pers justru menjadi institusi baru yang memberi legitimasi untuk melakukan represi terhadap hadirnya pers bebas. Terlebih lagi, dengan kehadiran MoU yang antara Kepolisian RI dan Dewan Pers yang ditandatangani di tahun 2012.
Dalam konteks legislasi, permasalahan yang bisa diidentifikasi adalah sebagai berikut:
- Tidak adanya pemisahan yang tegas soal mana yang masuk kategori delik pers dan mana yang bukan delik pers;
- Harus dipertegas keberadaan dari undang-undang tersebut sebagai undang-undang khusus (lex specialis) dalam penyelesaian perkara-perkara delik pers;
- Perlu dipertegas apakah delik pers itu adalah delik aduan atau delik umum (laporan delik) karena masa penuntutannya akan berbeda dan apakah dapat ditarik atau tidak, dan pertanggungjawaban pidananya harus dipertegas apakah perorangan atau korporasi, dan;
- UU 40/1999 membuat diskriminasi dalam pemidanaan, di mana jika orang non pers melakukan pelanggaran, maka hukumannya adalah kurungan dan denda (Pasal 18 ayat (1)), sedangkan orang pers hanya hukuman denda saja (Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3)).
Sementara itu, berkaitan dengan perspektif penegak hukum dalam menyelesaikan delik-delik pers, masih ada masalah penafsiran atas penggunaan hak jawab dan hak koreksi yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UU Pers. Bagi kalangan pers keluhan atas suatu pemberitaan diselesaikan melalui hak jawab dan hak koreksi, jika tidak selesai maka dapat dilakukan mediasi ke lembaga Dewan Pers.
Jika tidak melalui kedua mekanisme tadi tapi langsung ke pengadilan maka melanggar UU Pers. Sedangkan sebagian kalangan penegak hukum, misalnya hakim, ada yang menilai pasal “pers wajib melayani hak jawab dan hak koreksi” tersebut dapat digunakan oleh pihak yang dirugikan untuk langsung mengajukan laporan pidana, karena rumusan Pasal tersebut adalah “kewajiban” yang berarti harus dilaksanakan.(rd1)
*) Dosen Hukum Pers dan Media Massa Universitas Jakarta