21.1 C
Indonesia
Kamis, Maret 13, 2025

Manteman, Ini Beberapa Istilah Dalam UU Pers Beserta Penjelasannya

- Advertisement -

Pangkalpinang Aspirasipos.com — Belakangan ini, setelah masifnya era android di tanah air. Jagat jurnalistik tanah air makin hiruk pikuk saja, entah dengan berjejalnya situs berita, silang pendapat dalam ranah pemberitaan, hingga yang kadang membuat jeri adalah bentuk laporan resmi ke institusi Kepolisian. 

Adalah UU Pers No 40 Tahun 1999 yang jadi sebongkah pohon rindang. Di tengah derasnya informasi berbentuk berita. Dalam era paper less seperti sekarang, media massa perlahan lebih dikenal tatkala sudah masuk dalam alam maya. Alias portal berita online. 

Walaupun media tadi seperti yang dimaksud oleh De Fleur & Rokeach, atau ada di mazhab high-taste content, yakni isi media yang bersifat kritis yang disampaikan dengan “in better taste”, misalnya seperti musik serius, drama canggih, diskusi politik dan acara lain yang sifatnya sebagai lawan dari low-taste content sebelumnya. 

Tidak dipungkiri, faktor velocity atau kecepatan tanpa dibarengi usaha dengan akurasi yang terukur. Akhirnya menjadi perangkap tersendiri untuk teman media yang masih berkutat pada rating. Awalnya mencari jumlah berapa hitter yang berhasil dikumpulkan oleh satu judul berita. Belum puas, berita tadi dibelah sampai empat judul, dengan maksud menggiring pembaca kedalam labirin pelanggan. Semuanya dikemas dalam bahasa pop, nuansa post modern dan tentunya ditingkahi ornamen google ads sebagai barometer kesuksesan sebuah kanal berita.

Namun bukan itu juga yang mau dibahas disini. Pada contoh kasus di banyak tempat, pelaporan ke ranah hukum oleh pihak yang merasa dirugikan dari viralnya sebuah berita. Kadang masih kurang tepat menggunakan peluru untuk protes pada isi berita. Salah kamar lah bisa dibilang. 

Kan yang membuat seorang wartawan, bekerja pada perusahaan pers -berdasar UU Pers- akhirnya disebut sebagai produk jurnalistik. Walau di kemudian hari saat timbul masalah, produk ini kembali diuji lagi oleh lembaga yang diamanatkan dalam UU Pers, Dewan Pers. 

Dengan kata lain. Pihak yang merasa dirugikan sangat jarang menggunakan salurannya yang justru dijamin oleh UU itu sendiri. Bahkan bisa dihitung dengan jari saja, pihak yang dirugikan mau memakai Hak Jawab dan Hak Koreksi. 

Untuk itulah, dengan segala kerendahan hati. Redaksi aspirasipos hanya ingin berbagi secuil pengalaman pada pembaca sekalian soal istilah-istilah dalam dunia pers. Semoga bermanfaat. 

Apa beda hak jawab dan hak koreksi?

Perbedaan antara hak jawab dan hak koreksi terletak wewenang pada pihak yang melakukannya. Hak Jawab diberikan kepada pihak yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. Sedangkan hak koreksi diberikan kepada setiap orang. Hak jawab berisi tanggapan atau sanggahan terhadap berita yang menyangkut langsung diri dari pihak yang dirugikan. Hak koreksi berisi koreksi dari siapa saja menyangkut informasi apapun yang dinilainya salah, terutama kekeliruan fakta dan data teknis.

Apa yang dimaksud dengan hak koreksi?

Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

Apakah setelah pelaksanaan hak jawab, pihak yang dirugikan dapat tetap mengajukan gugatan?

Jika hak jawab merupakan pelaksanaan dari penataan Kode Etik Jurnalistik, tidak diragukan lagi, setelah pers melayani hak jawab sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik, kasus dianggap tuntas. Selesai. Tidak ada masalah lagi. Tetapi persoalannya muncul ketika hak jawab dikaitkan dengan pelaksanaan dan tafsir dari UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Terhadap pertanyaan, apakah dari segi hukum setelah pelaksanaan hak jawab, pihak yang dirugikan dapat tetap mengajukan gugatan atau tidak, masih ada beberapa pandangan. 

Kelompok pertama, pihak yang berpendapat, setelah adanya pelaksanaan hak jawab, pihak yang merasa dirugikan dinilai tetap dapat mengajukan gugatan. 

Alasannya:

(1) Tidak ada satupun ketentuan yang memberi batasan atau yang melarang pihak yang dirugikan setelah pelaksanaan hak jawab melakukan gugatan. Dengan demikian, walaupun hak jawab sudah dilayani pers, pihak yang merasa dirugikan, jika menginginkan tetap dimungkinkan untuk melakukan gugatan;

(2) Pemahaman bahwa hak jawab justru merupakan prasyarat yang harus dipenuhi lebih dahulu oleh pihak yang dirugikan sebelum melakukan gugatan. Hak menggugat belum muncul sebelum dilaksanakannya hak jawab. Tidak dimungkinkan, jika pihak yang dirugikan ingin menggugat tetapi belum melaksanakan hak jawab. Bagian Kedelapan Hak Jawab. Nah, manakala hak jawab sudah dilaksanakan tidak boleh melakukan gugatan menjadi sesuatu yang tidak masuk akal.

(3) Hak jawab bukanlah unsur yang peniadaan atau pemaaf adanya pidana.

(4) Hak jawab masuk dua ranah sekaligus, baik etika maupun hukum. Pada ranah etika, dengan sudah dilaksanakan hak jawab, persoalan dianggap selesai pula. Kasusnya ditutup. Tetapi pada ranah hukum, persoalan lain. Pelaksanaan hak jawab tidaklah otomatis menghentikan kasusnya, tetapi justru dapat dipandang sebagai awal munculnya hak yang dirugikan. Kelompok kedua, yang berpendapat, baik dalam ranah etika maupun dalam ranah hukum, dengan sudah dilaksanakannya hak jawab, semua persoalan sudah selesai. Dalam ranah etika Kode Etik Jurnalistik, memang mengatur dengan adanya hak jawab persoalan dinilai selesai. Sedangkan dalam ranah hukum, pelaksanaan hak jawab merupakan pemenuhan dari ketentuan perundang-undangan, sehingga dengan telah dilaksanakannya hak jawab berarti ketentuan hukum sudah dipenuhi dan tidak ada pelanggaran yang dilakukan dan oleh karena itu gugatan yang diajukan setelah pelaksanaan hak jawab justru bertentangan dengan hukum itu sendiri. Dengan demikian apabila hak jawab sudah dilaksanakan maka pihak yang merasa dirugikan sudah tidak memiliki dasar hukum lagi untuk mengajukan gugatan.

Apa sanksi dari pelanggaran hak jawab?

a. Dari segi etika pelanggaran hak jawab melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan dapat diberi sanksi mulai dari kewajiban mengumumkan pelanggaran hak jawab, permintaan maaf, sampai dinyatakan ada itikad buruk yang dapat dikategorikan sebagai pidana umum.

b. Sesuai dengan pasal 18 ayat 1 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers yang tidak melayani hak jawab selain dapat diancam sanksi hukum pidana denda paling banyak Rp 500.000.000. (lima ratus juta rupiah).

Bagaimana kekuatan hukum dari Peraturan Dewan Pers?

Dasar dari peraturan Dewan Pers adalah undang-undang, yakni pasal 15 ayat 2 huruf f UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang tata pembentukan UU, lembaga yang oleh UU diberikan kewenangan membuat peraturan, peraturan-peraturan yang dihasilkan oleh lembaga ini sah, mengikat secara hukum. Dengan demikian peraturan Dewan Pers memiliki dasar hukum dan daya mengikat yang kuat.(*)

r6/Redaktur berita aspirasipos.com 

Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.

- Advertisement -
SHOWBIZZ
- Advertisement -
Berita terkait lainnya
- Advertisement -