Kolom Opini

Paniknya Aturan Politik Pilkada

Oleh : Agus Hendra Yadi  SH,MH
Dewan Penasehat SMSI Bangka Belitung

ASPIRASIPOS.COM – Pemerintah mencatat, setidaknya sudah ada 60 bakal calon kepala daerah yang akan mengikuti Pilkada Serentak 2020 di Indonesia dinyatakan positif terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) pada pekan kemarin. Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun mengakui hal itu.

Namun menariknya, meski mengetahui dan mengakui hal ini, Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Nonalam Covid-19 yang diterbitkan 31 Agustus 2020, mengisyaratkan konser musik dan pentas seni dalam pilkada saat pandemi diperbolehkan.Aturan ini belum direvisi atau diperbaiki.

Padahal pemerintah telah tegas melarang kerumunan orang meski pun pembatasan dan kewajiban menerapkan protokol kesehatan diberlakukan. Pemerintah memprediksi konser musik atau pentas seni, serta kerumunan lainnya akan tetap rawan menularkan virus Corona. Terlebih, penerapan isolasi mandiri atau karantina sendiri terhadap pasien terkonfirmasi Covid-19 tengah gencar dilakukan untuk mengurangi membludaknya rumah sakit, tempat isolasi atau wisma karantina.

Melihat ini, masyarakat menilai tidak hanya pemerintah yang panik dalam hal menciptakan aturan semasa pandemi, dengan pasang cabut kebijakan. Dulu tak perlu pakai masker, sekarang harus dan didenda. Dulu penerapan Work From Home (WFH), sekarang klaster perkantoran merebak. Dulu rumah makan, kafe dan tempat keramaian ditutup, sekarang bebas saja asal di terasnya tersedia tempat cuci tangan dan sabun.

KPU pun ternyata terimbas, menerapkan aturan normal terhadap kondisi yang tidak normal. Kini, konser musik dan pentas seni serta jalan santai untuk kampanye Pilkada menjadi pro kontra akibat aturan itu. Tak ada yang bisa menjamin 60 bakal calon kepala daerah yang sudah terkonfirmasi Covid-19, tidak menularkan virus kepada orang lain. Apalagi jika mereka hanya disarankan untuk melakukan isolasi mandiri di rumah masing-masing.

Artis yang bakal menjadi bintang konser pun, tidak ada yang bisa menjamin mereka clean dari Corona. Belum lagi para personil konser, aparat keamanan, partai pengusung berikut kader simpatisannya dan penonton konser musik saat kampanye. Tidak ada jaminan konser dan kegiatan keramaian itu bersih dari virus.

PKPU Nomor 10 Tahun 2020 ini disorot, saat Pasal 63 ayat (1) mengatur tujuh kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf g. Bentuknya, rapat umum; kegiatan kebudayaan berupa pentas seni, panen raya, dan/atau konser musik; kegiatan olahraga berupa gerak jalan santai, dan/atau sepeda santai; perlombaan; kegiatan sosial berupa bazar dan/atau donor darah; peringatan hari ulang tahun partai politik; dan/atau melalui media sosial.

Meski ayat (2) Pasal 63 itu mengatur kegiatan seperti konser musik, jalan santai, sepeda santai, pentas budaya dan lain-lain harus membatasi jumlah peserta yang hadir paling banyak 100 (seratus) orang, menerapkan protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian COVID-19, serta berkoordinasi dengan perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan dan/atau Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, namun tetap saja kerumunan orang terjadi.

Akhirnya Kapolri Jenderal Pol Idham Azis yang turun tangan, dan menegaskan larangan adanya kerumunan massa terutama saat sosialiasi ataupun kampanye Pilkada. Melalui Telegram Kapolri bernomor: ST/2607/IX/OPS.2./2020 tertanggal 7 September 2020, Polri menginstruksikan jajarannya untuk memahami penerapan protokol kesehatan dalam tahapan Pilkada, sebagaimana diatur PKPU Nomor 5, 9, dan 10 Tahun 2020. Kapolri menginstruksikan kampanye rapat umum hanya boleh dihadiri maksimal 100 orang, dengan rapat terbatas 50 orang, dan debat maksimal 50 orang.

Akan tetapi, rasanya sulit menahan hasrat kampanye dengan hanya 50 sampai 100 orang tersebut. Apa yang akan dilakukan Polri apabila kampanye Pilkada kelak melanggar instruksi tersebut? Dan apa pula yang dilakukan KPU dan Bawaslu jika terjadi pelanggaran kampanye dalam hal kerumunan yang melebihi batas toleransi? Tentu sulit untuk dijawab.

Pilkada 2020 benar-benar menjadi dilema politik. Disatu sisi kepala daerah harus berganti dengan pesta demokrasi, namun disisi lain kesehatan masyarakat menjadi taruhan akibat gengsi politik.

Namun yang perlu diingat adalah, ada kekhawatiran politik pandemi dimanfaatkan untuk kekuasaan berpolitik. Karena bisa saja satu orang pasien positif Covid-19 yang “katanya” menjalani isolasi mandiri digunakan lawan untuk menggagalkan calon kepala daerah duduk di kursi kekuasaannya setelah terpilih. Hanya dengan menyentuh calon yang menang atau melakukan kontak erat, pasien positif dapat menularkan penyakitnya ke calon pemenang. Apalagi, jika calon pemenang itu rentan dengan virus dan memiliki penyakit bawaan yang bisa mengancam nyawanya.

Karena itu, Pilkada memang milik calon kepala daerah. Jika ingin selamat dalam berpolitik dan berkuasa, alangkah baiknya untuk menghindari kerumunan, keramaian termasuk konser dan membuat berkumpulnya orang guna keselamatan diri sendiri. Toh, percuma saja berjuang mati-matian dalam kampanye pilkada, jika sudah terpilih akhirnya mati dan digantikan calon lain. Ingatlah, Pilkada adalah politik dan politik dapat menggunakan berbagai cara untuk berkuasa, meski nasib atau takdir telah digariskan Yang Esa. Wallahu A’lam Bishawab ( rd1)

Iklan

Related Posts

1 of 696