21.4 C
Indonesia
Kamis, Februari 6, 2025

Teluk Kelabat Dalam Tuai Kontroversi, Lanal Babel Minta Pemprov Akomodir Hajat Hidup Warga Penambang dan Nelayan

- Advertisement -

Pangkalpinang Aspirasipos.com – Rapat Koordinasi Forkopimda Provinsi Bangka Belitung terkait pembahasan silang sengkarut kawasan Teluk Kelabat Dalam antara warga penambang dan masyarakat nelayan digelar Kamis siang tadi, 05/08/2021 di Hotel Soll Marina Pangkalanbaru Bangka Tengah.

Dalam rakor yang dihadiri stakeholder Provinsi Bangka Belitung tersebut, dilansir babeltoday, ada kutipan menarik yang dikemukakan oleh pihak Lanal Babel melalui Palaksa Lanal Babel, Letkol Laut (PM) Fajar Hasta Kusuma. Ia menyebutkan bahwa, seluruh peserta rapat ini juga tidak bisa mengenyampingkan fakta sejarah soal pertimahan di Bumi Serumpun Sebalai.

Meski diakuinya saat ini kadang terjadi friksi-friksi antara warga penambang dan nelayan, namun data sejarah tidak serta merta menuding pertambangan dengan menggunakan Ponton Isap Produksi (PIP) sebagai pesakitan yang menghancurkan ekosistem perairan.

“Kenapa yang selalu diangkat adalah isu nelayan di Bakik? Ada catatan yang perlu diperhatikan. Bencana ekologi yang diciptakan oleh KIP (Kapal Isap Produksi — red) sebenarnya jauh lebih besar dibandingkan PIP yang hanya beberapa meter kedalaman menambangnya,” tukas Perwira Melati Dua dengan gamblang.

Palaksa Lanal Babel lantas makin memfokuskan pembicaraan mengenai konflik yang baru-baru ini terjadi, antar warga penambang dan nelayan. Dimana menurutnya, pihak Pemerintah Provinsi Bangka Belitung harus bersikap lebih bijak lagi, dengan mengakomodir hajat hidup kedua kelompok masyarakat yang ada dalam naungannya.

“Provinsi ini dapat berkembang dan maju salah satunya karena daerahnya merupakan penghasil timah, dan bisa disebut sudah jadi tradisi sebagian besar masyarakat Babel untuk menambang timah secara turun-temurun, di kesempatan ini kami juga perlu sampaikan pejabat Babel bisa berkembang juga karena timah,” imbuh dia.

Menyoal Perda Zonasi atau RZWP3K, Fajar menilai bahwa sebuah Izin Produksi atau IUP munculnya tentu lebih dulu dibandingkan dengan Perda, dan IUP miliki kekuatan hukum lebih kuat karena sama-sama diketahui diatur oleh Pemerintah Pusat.

“Harusnya aturan yang dibuat oleh Pemda Provinsi dan Bupati lebih menitikberatkan hajat hidup kelompok warga yang lebih banyak jumlahnya, dan mana yang lebih bermanfaat untuk pembangunan,” urai dia.

Jika menilik masalah lingkungan hidup, lanjut Fajar, bisa disebut cuma opini yang sampai saat ini belum pernah dibuktikan dengan data empiris, di Bakik sendiri masih banyak karamba-karamba penghasil ikan kerapu yang hidup dan segar.

“Masyarakat sekitar kelabat dalam, sebagian besar adalah warga penambang, dengan adanya peristiwa penutupan ini dampak sosialnya lebih besar,” katanya.

Fajar juga memberi perumpamaan soal Industri timah di Bangka Belitung dan Industri Perikanan di pesisir Laut Jawa. Yang menurutnya sangat jauh berbeda.

“Di Teluk Kelabat Dalam memang ada nelayan tapi bukan sebagai Indistri. Hanya pemenuhan kebutuhan pokok saja, beda dengan di Jawa yang sudah jadi Industri besar pengolahan ikan modern. Sementara soal timah, karena sudah jadi industri yang besar pasti akan berdampak terhadap pembangunan di Babel,” kata dia.

Di penghujung sesinya, Fajar juga tak menampik, tentang kondisi terkini penambangan timah di perairan Bangka, namun pihaknya tetap pada koridor mengedepankan hal yang berimbang antara warga nelayan dan warga penambang. “Hal ini guna kepentingan untuk menghindari konflik,” pungkas Palaksa Lanal Babel. (*)

- Advertisement -
SHOWBIZZ
- Advertisement -
Berita terkait lainnya
- Advertisement -